Perhimpunan Indonesia: Peran dan Kontribusinya Pada Masa Awal Pergerakan Nasional (1923-1928)
Perhimpunan Indonesia berperan penting dalam memperkenalkan cita-cita bangsa Indonesia kepada dunia internasional, menarik simpati negara-negara lain untuk membantu tercapainya cita-cita bangsa Indonesia yaitu merdeka dari penjajah.
Oleh Anak Agung Bintang Maha Putra Karang
Organisasi adalah suatu wadah yang memiliki anggota dengan tujuan yang sama. Timbulnya suatu organisasi dilandaskan atas dasar persatuan dan sebuah keinginan untuk mencapai sesuatu secara bersama-sama. Pada masa pergerakan nasional bermunculan banyak organisasi-organisasi yang berlandaskan atas dasar nasionalisme dengan tujuan membebaskan masyarakat Indonesia (yang pada saat itu bernama Hindia Belanda) dari belenggu kolonialisme dan imperialisme dan memiliki hak untuk menentukan nasib bangsanya sendiri (Makmur, 1993, hlm. 29).
Timbulnya organisasi-organisasi pada masa pergerakan nasional tentunya tidaklah mudah. Organisasi yang timbul pada masa pergerakan nasional muncul diakibatkan suatu peristiwa yang menyengsarakan rakyat yaitu penjajahan Belanda terhadap Indonesia. Peristiwa penjajahan tersebut menimbulkan semangat para kaum intelektual Indonesia untuk membentuk suatu organisasi (Rusdiana dkk., 2022).
Pembentuknya organisasi-organisasi yang bercorak pergerakan nasional tidak hanya terbentuk di Indonesia tetapi organisasi dengan corak tersebut juga terbentuk dari luar Indonesia. Pembentukan organisasi yang bercorak pergerakan nasional bermula dari para mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh studi di luar negeri khususnya Belanda. Pada mulanya, pembentukan organisasi di Belanda diakibatkan perlunya ada rasa kesadaran atas kekeluargaan, kebersamaan, rasa senasib, sepenanggungan, dan yang terpenting adalah adanya rasa kesadaran nasional yang tumbuh pada diri para pelajar-pelajar Indonesia di Belanda. Kesadaran nasionalisme tersebut menimbulkan suatu pemikiran tentang suatu sistem kenegaraan dan kebangsaan dan dengan penuh kesadaran diketahui oleh para mahasiswa Indonesia di Belanda (Kartodirdjo, 1993, hlm. 123).
Pada bulan November 1908 atau lebih tepatnya tanggal 15 terbentuklah suatu organisasi di Belanda yang bernama Indische Vereeniging (Perkumpulan Hindia Belanda) sebagai wadah perkumpulan mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang mendapatkan beasiswa oleh pemerintah Belanda (Ingleson, 1993, hlm. 1). Indische Vereeniging didirikan di Belanda oleh mahasiswa Indonesia yang belajar di beberapa perguruan tinggi di negara tersebut. Indische Vereeniging dibentuk sebagai wadah pertemuan mahasiswa di Belanda untuk menyatukan pemikiran dalam gerakan kemerdekaan Indonesia.
Pada awalnya Indische Vereeniging adalah suatu organisasi mahasiswa yang bercorak sosial-budaya untuk menaungi para pelajar Indonesia yang sedang menempuh studi di Belanda (Ingleson, 1993, hlm. 136). Indische Vereeniging mulai memasuki bidang politik dan mengurusi persoalan di Indonesia saat bergabungnya Tjipto Mangoenkoesoemo, Suryadi Suryaningrat, dan E.F.E Douwes Dekker pada tahun 1913 (Dhont, 2005, hlm. 32). Kedatangan Tjipto Mangoenkoesoemo, Suryadi Suryaningrat, dan E.F.E Douwes Dekker pada tahun 1913 disebabkan karena pembuangan ketiga tokoh tersebut oleh pemerintah Belanda di Indonesia diakibatkan aktivitas mereka dalam organisasi Indische Partij (Ingleson, 2018, hlm. 4). Semenjak kedatangan tiga tokoh tersebut, Indische Vereeniging mendapat pengaruh nasionalisme yang dibuktikan dengan diterbitkannya jurnal dari Indische Vereeniging bernama Hindia Poetra pada tahun 1916 (Ingleson, 1993, hlm. 2).
Pada tahun 1922 Indische Vereeniging berganti nama menjadi Indonesische Vereeniging (Dhont, 2005, hlm. 14). Selanjutnya, Indonesische Vereeniging berganti nama lagi pada tahun 1925 saat Soekiman Wirjosandjojo menjabat sebagai ketua Indonesische Vereeniging menjadi Perhimpunan Indonesia (Dhont, 2005, hlm. 36). Kegiatan Perhimpunan Indonesia yang menuntut kemerdekaan membuat kementerian Kolonial Belanda khawatir. Atas perintah kementerian Kolonial Belanda, Penasihat Kemahasiswaan mengirimkan brosur larangan mengikuti kegiatan Perhimpunan Indonesia pada bulan Februari 1927. Beasiswa mereka di Belanda akan dibatalkan jika mereka tidak mematuhi batasan tersebut. Sekretariat Perhimpunan Indonesia digeledah pada 10 Juni, dan Hatta bersama Ali Sastroamidjojo, Abdul Majid, dan Nazir ditahan Pengadilan Negeri di Den Haag pada 27 September. Pengadilan memutuskan mereka tidak bersalah.
Hatta tetap menjadi anggota Perhimpunan Indonesia setelah pembebasannya. Namun, dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, ia menghabiskan lebih sedikit waktu untuk terlibat dalam politik, dan Perhimpunan Indonesia sendiri jauh lebih tidak aktif pada tahun 1928-1929 dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hatta dikeluarkan dari Perhimpunan Indonesia pada tahun 1931 karena gagal menyesuaikan diri dengan aturan-aturan Perhimpunan Indonesia, terutama konsultasi sebelum menerbitkan pernyataan. Pencopotan Hatta sebagai anggota Perhimpunan Indonesia merupakan akhir dari organisasi karena organisator utama organisasi itu telah tiada (Dhont, 2005, hlm. 34).
Permulaan Terbentuknya Perhimpunan Indonesia
Terbentuknya suatu organisasi tidak terlepas dari peranan kaum intelektual. Kaum intelektual Indonesia muncul disebabkan adanya politik etis. Politik etis muncul diakibatkan bertumbuhnya pemahaman mengenai humanisme di negeri Belanda. Permulaan pemahaman humanisme melahirkan orang-orang dengan pemikiran untuk memakmurkan dan memajukan kesejahteraan rakyat di tanah jajahan, terutama dari para golongan sosialis dan etis (Darmono, 1967, hlm. 3). Politik etis memiliki tiga tuntutan yaitu irigasi, emigrasi, dan edukasi (Kartodirdjo, 2014, hlm. 27).
Dalam tuntutan edukasi, politik etis bertujuan untuk mendirikan pendidikan di Hindia Belanda karena alasan ekonomi bukan untuk mendidik masyarakat Indonesia. Pendirian perusahaan pengolahan bahan perkebunan memerlukan tenaga terdidik dengan biaya rendah. Memasukkan tenaga kerja terdidik dari Belanda tentunya lebih mahal daripada mendatangkan tenaga terdidik dari Amerika Serikat. Akibatnya, pemerintah Belanda terpaksa harus memberikan pendidikan bagi orang Indonesia untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja. Oleh karena itu, program pendidikan dilaksanakan sesuai kebutuhan. Namun, tuntutan edukasi ini sangat selektif dan diskriminatif. Hanya anak-anak bangsawan yang mampu memperoleh pendidikan (Sudiyo, 2002, hlm. 2). Tuntutan edukasi dalam politik etis inilah yang nantinya akan melahirkan kaum intelektual dan terpelajar bangsa Indonesia yang nantinya akan membentuk suatu gerakan dan organisasi khususnya Perhimpunan Indonesia.
Pada permulaan abad ke-20 hanya sedikit dari pelajar Indonesia yang mampu menyelesaikan studi ke perguruan tinggi. Mahalnya biaya, sedikitnya beasiswa yang ada, dan tidak adanya perguruan tinggi di Indonesia pada saat itu menyebabkan banyak para pelajar Indonesia yang hanya menyelesaikan studinya pada tingkat Algemene Middelbare School (AMS). Para pelajar yang bisa melanjutkan studinya ke perguruan tinggi khususnya perguruan tinggi di Belanda hanyalah orang-orang kaya atau lulusan terbaik Algemene Middelbare School (AMS) yang selanjutnya akan diberikan beasiswa oleh pemerintah Belanda di Indonesia. Para pelajar yang melanjutkan studi di Belanda sangat menyadari hal tersebut sehingga menimbulkan rasa senasib dan sepenanggungan sesama pelajar yang sedang merantau serta jauh dari keluarga atau sanak saudara mereka. Alhasi, perasaan tersebutlah yang membuat mereka membuat suatu perkumpulan di tanah perantauan pada tahun 1908 dan bernama Indische Vereeniging yang dipelopori oleh Sutan Kasayangan dan Noto Soeroto (Nagazumi, 1986, hlm. 136).
Pada mulanya Indische Vereeniging adalah sebuah wadah sosial untuk tempat para pelajar Indonesia berkumpul dan berdiskusi dalam waktu senggangnya. Hal ini dikarenakan adanya sebuah larangan dari pemerintah Belanda kepada pelajar yang ada di Belanda untuk mendirikan suatu organisasi yang bercorak politik. Bagi para pelajar Indonesia yang berada di Indische Vereeniging, perkumpulan ini bukan hanya sebuah perkumpulan, namun perkumpulan ini adalah sebuah wadah untuk berdiskusi hal-hal yang bersangkutan mengenai tanah air dan memajukan tujuan bersama untuk para pelajar Indonesia di negeri Belanda serta mengadakan relasi dengan Hindia Belanda (Sudiyo, 2004, hlm. 24).
Pasca Perang Dunia I, aktivitas Indische Vereeniging mulai terfokus pada gerakan politik. Namun, meskipun kontrol ketat terhadap pelajar Indonesia baik di Belanda maupun di Indonesia, mereka tetap bekerja di bidang sosial hingga tahun 1920. Pelajar Indonesia di Belanda tetap menjalankan program-program Indische Vereeniging, namun perlahan dan tanpa adanya rasa semangat. Namun, hal tersebut dianggap sebagai pilihan terbaik untuk menyelamatkan perkumpulan mereka dari pengawasan Belanda (Sudiyo, 2004, hlm. 7).
Seiring dengan perkembangan organisasi, Indische Vereeniging mengalami regenerasi keanggotaan. Regenerasi tersebut memunculkan anggota baru pada tahun 1921 seperti Budiarto, Iskaq, Iwa Kusumasumantri, Hatta, Sutomo, dan Ali Sastroamidjojo (Ingleson, 1993, hlm. 3). Selain tokoh-tokoh di atas, berdatangan pula tokoh-tokoh beraliran komunis seperti Semau, Darsono, dan Tan Malaka (Noer, 1990, hlm. 39). Dengan datangnya orang-orang seperti Tan Malaka dan Hatta, Indische Vereeniging menjadi lebih terlibat secara politik. Pada tahun 1922 Indische Vereeniging berganti nama menjadi Indonesische Vereeniging (Dhont, 2005, hlm. 14). Selanjutnya, Indonesische Vereeniging berganti nama lagi pada tahun 1925 saat Soekiman Wirjosadjojo menjabat sebagai ketua Indonesische Vereeniging menjadi Perhimpunan Indonesia (Dhont, 2005, hlm. 36). Sejak Hatta menjabat sebagai ketua Perhimpunan Indonesia pada tahun 1926, Perhimpunan Indonesia menjadi semakin konservatif. Cita-cita kemerdekaan semakin disuarakan oleh para pimpinan Perhimpunan Indonesia (Sudiyo, 2013, hlm. 25).
Peran dan Kontribusi Perhimpunan Indonesia dalam Mencapai Kemerdekaan Pada Awal Pergerakan Nasional
Pada tahun 1925 terjadi pergantian orientasi dan organisasi Perhimpunan Indonesia dari yang awalnya bercorak sosial menjadi bercorak politik. Perhimpunan Indonesia bukan lagi sekadar organisasi kemasyarakatan bagi mahasiswa, tetapi sudah mulai mendorong diri di kancah politik untuk memperoleh kemerdekaan Indonesia (Sudiyo, 2002, hlm.98). Untuk menghadapi masalah politik kolonial, mahasiswa Indonesia terjun ke dunia politik, sehingga segala upaya Belanda untuk membalikkan keadaan di Indonesia saat ini dapat dijawab dengan menyebarkan masalah Indonesia di forum internasional atas nama organisasi Perhimpunan Indonesia, seperti yang ditunjukkan dalam seminar tersebut. Pada tahun 1925, Academic du Droit International de la Haye (Akademi Hukum International di Den Haag) menjadi tuan rumah seminar.
Pada seminar tersebut Arnold Mononutu adalah anggota Perhimpunan Indonesia yang hadir dalam seminar atas nama organisasi Perhimpunan Indonesia. Arnold Mononutu melalui Perhimpunan Organisasi Indonesia berusaha menyampaikan kepada seluruh mahasiswa dari seluruh dunia pada pertemuan internasional yang diselenggarakan oleh organisasi internasional di Den Haag bahwa Indonesia bukanlah Belanda dan Belanda bukanlah Indonesia, bahwa Indonesia adalah sebuah negara dengan kepribadiannya sendiri dan hak yang sama dengan negara lain untuk merdeka dan bebas dari kolonialisme (Poesponegoro, 1993, hlm. 132). Hasil dari seminar tersebut menimbulkan kesan postif dari dunia internasional.
Perhimpunan Indonesia berperan penting dalam memperkenalkan cita-cita bangsa Indonesia kepada dunia internasional, menarik simpati negara-negara lain seperti Mesir, Iran, dan Hungaria untuk membantu tercapainya cita-cita bangsa Indonesia yaitu merdeka dari penjajah. Akibatnya, seiring berjalannya waktu, Perhimpunan Organisasi Indonesia menyusun strategi baru pada tahun 1923 untuk memerangi segala berita yang menyangkut Indonesia. Berita ini biasanya dimuat di majalah Men’s India, yang namanya diusulkan oleh Ahmad Subardjo menjadi Indonesia Merdeka untuk memperjelas prinsip-prinsip negara Indonesia (Poesponegoro, 1993, hlm. 133). Masa depan negara Indonesia sangat tergantung pada pembentukan pemerintahan yang benar-benar akuntabel kepada rakyat. Akibatnya, setiap orang Indonesia harus berjuang dengan bantuan orang asing. Perpecahan kekuasaan di Indonesia, dalam bentuk apa pun, harus dikritik keras, karena hanya persatuan putra putri Indonesia yang kuat yang dapat mencapai tujuan bersama (Rutgers, 2012, hlm. 119).
Selain dalam dunia internasional, Perhimpunan Indonesia juga memperjuangkan hak-hak bangsa Indonesia melalui Tanah Air itu sendiri. Perjuangan Perhimpunan Indonesia di dalam negeri dapat dilihat pada beberapa partai politik yang dibentuk sekitar tahun 1920-an. Pendirian banyak partai politik dianggap menghalangi tujuan nasionalis. Karena banyaknya partai yang mengejar tujuan mereka sendiri, gerakan ini secara keseluruhan mendapat sedikit perhatian (Ingleson, 1983, hlm. 50). Peristiwa ini mendorong gagasan untuk mengadakan Kongres Indonesia yang mencakup semua partai yang ada. Sebuah konferensi diselenggarakan di Bandung pada 17-18 Desember 1927, berkat kerja sama Soekarno dan Sukiman berkumpulah beberapa partai seperti Partai Sosialis Indonesia, Budi Utomo, Partai Nasionalis Indonesia, Pasundan, Sumatranen Bond, Betawi, dan Kelompok Kajian Indonesia ikut serta dalam konferensi tersebut (Suhartono, 2001, hlm. 75). Konferensi tersebut menyepakati untuk membentuk sebuah federasi yang disebut Persatuan Politik Nasional Indonesia (PPPKI). Anggaran dasar organisasi tersebut menyatakan bahwa federasi adalah badan federasi yang tidak mengendalikan partai politik yang ada, akan tetap bergerak bebas, dan federasi hanya akan melakukan kegiatan yang telah disepakati bersama sebelumnya (Ingleson, 1983, hlm. 54-55).
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Dhont, F. (2005). Nasionalisme Baru Intelektual Indonesia tahun 1920-an. Yogyakarta: UGM Press.
Ingleson, J. (1983). Jalan Ke Pengasingan: Pergerakan Nasional Indonesia Tahun 1927–1934. Jakarta: LP3ES.
Ingleson, J. (1993). Perhimpunan Indonesia dan Pergerakan Kebangsaan. Jakarta: Temprint.
Ingleson, J. (2018). Mahasiswa, Nasionalisme & Penjara: Perhimpunan Indonesia 1923-1928. Depok: Komunitas Bambu.
Kartodirdjo, S. (1993). Sejarah Pergerakan Nasional Jilid 2. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kartodirdjo, S. (2014). Pengantar Sejarah Indonesia Baru Jilid II: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme. Jakarta: Gramedia.
Makmur, D. dkk. (1993). Sejarah Pendidikan Indonesia Zaman Penjajahan. Jakarta: CV. Manggala Bakti.
Nagazumi, A. (1986). Indonesia dalam Kajian Sarjana Jepang: Perubahan Sosial Ekonomi Abad XIX XX dan Berbagai Aspek Nasionalisme Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Nagazumi, A. (1986). Masa Awal Pembentukan Perhimpunan Indonesia: Kegiatan Mahasiswa Indonesia Di Negeri Belanda 1916-1917. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Noer, D. (1990). Mohammad Hatta Biografi Politik. Jakarta: LP3ES.
Poesponeoro. (1993). Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka.
Rutgers. (2012). Pergerakan Nasional Indonesia. Yogyakarta: Ombak.
Sudiyo. (2002). Pergerakan Nasional Mencapai dan Mempertahankan Kemerdekaan. Jakarta: Rineka Cipta.
Sudiyo. (2004). Perhimpunan Indonesia. Jakarta: Bina Adiaksara.
Suhartono. (2001). Sejarah Pergerakan Nasional dari Budi Utomo sampai Proklamasi 1908-1945. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Artikel/Jurnal
Rusdiana, Y. T. (2022). Peran Organisasi Perhimpunan Indonesia dalam Upaya Mencapai Kemerdekaan di Belanda. Jejak: Jurnal Pendidikan Sejarah & Sejarah, 2(2), 54-65.